Tantangan Keberagaman Bangsa Indonesia: Paradoks Demokrasi Menyikapi Eksklusivisme Kelompok Sipil

Pemerintahan yang demokratis memiliki peluang sekaligus tantangan untuk memaksimalkan integrasi nasional. Secara alami demokrasi juga memiliki kondisi tertentu mengenai identifikasi ‘kami’ dan ‘kalian’ atau kawan dan lawan. Menurut Chantal Mouffe, mengidamkan demokrasi tanpa adanya ‘lawan’ merupakan hal yang berbahaya, sebab kondisi tersebut justru akan melemahkan demokrasi dan memperkuat pemerintahan yang otoriter.[1] Konteks pandangan Mouffe tersebut berbicara mengenai dilema di dalam demokrasi ketika sebuah kelompok masyarakat ingin membentuk subordinasi terhadap kelompok lainnya, padahal kelompok tersebut harusnya dipertahankan.

Dilema Mouffe mengenai paradoks dalam demokrasi menjadi relevan untuk didiskusikan pada konteks keberagaman dan persatuan bangsa Indonesia belakangan ini. Tulisan ini akan mendiskusikan mengenai tantangan keberagaman bangsa Indonesia, terutama setelah munculnya isu primordial pada Aksi Bela Islam yang begitu dominan dipertontonkan di berbagai media. Sebagai muatan opini, tulisan ini ingin menjawab pertanyaan “bagaimana seharusnya keberagaman bangsa Indonesia menyikapi menguatnya kelompok masyarakat yang eksklusif di Indonesia?”

Sejalan dengan konsep Strategi Nasional Wawasan Kebangsaan yang disusun oleh Bappenas, seharusnya Pancasila dapat menjadi landasan utama bagi penyamaan pemahaman mengenai toleransi antar umat beragama, perlindungan HAM, aktualisasi nilai budaya lokal dan nasional, pemantapan demokrasi, dan keadilan ekonomi.[2] Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga pembahasan: integrasi kebangsaan era orde baru, integrasi kebangsaan era reformasi dan tantangan integrasi kebangsaan dan konsolidasi demokrasi.

Orde Baru

            Pada umumnya sosiolog menggunakan pendekatan normatif, fungsional dan koersif untuk melihat pola dan strategi integrasi yang diterapkan di tiap lapisan masyarakat. Paulus Wirutomo, guru besar sosiologi Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa setiap negara pasti memiliki salah satu dari ketiga pola integrasi tersebut. Integrasi normatif terjadi karena adanya kesepakatan nilai, norma, cita-cita bersama atau adanya solidaritas. Seiring semakin kompleksnya tatanan masyarakat, mengutip Emile Durkheim, Wirutomo menjelaskan bahwa ketergantungan antar masyarakat akan menjadi semakin fungsional. Sedangkan pada integrasi fungsional, masyarakat berintegrasi karena telah terbentuk suatu sistem kemasyarakatan yang telah saling berkait antar unsurnya. Syarat dari integrasi fungsional adalah pemerataan fungsi dari tiap-tiap unsur yang saling berkaitan dan memiliki kegunaan. Jika terjadi ketimpangan fungsional karena didominasi oleh unsur masyarakat tertentu, maka bisa jadi integrasi fungsional tidak tercipta. Kemudian integrasi koersif adalah integrasi yang terbentuk karena adanya kekuasaan yang lebih besar yang dapat bersifat memaksa dengan menggunakan berbagai institusi sosial.[3]

Integrasi kebangsaan di era orde baru, pemerintahan Suharto tahun 1965 hingga 1998 dinilai menggunakan pendekatan koersif. Ketika itu pemerintah menekan budaya dan identitas tertentu untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat pada umumnya. Salah satu contohnya adalah diwajibkannya perubahan nama dan penggunaan bahasa bagi etnis Tionghoa sesuai dengan nama yang umum digunakan di Indonesia. Wirutomo mengistilahkan fenomena tersebut sebagai jawanisasi.[4] Jawanisasi adalah kondisi ketika kebudayaan yang dominan di Indonesia menggantikan kebudayaan dan identitas lainnya. Pemerintahan orde baru tidak segan untuk menggunakan aparatnya untuk melancarkan doktrin persatuan baik dengan kekerasan, maupun institusi kemasyarakatan seperti pendidikan, media massa dan lain sebagainya.

Lucia R. Kusumadewi menjelaskan bahwa era kepemimpinan Suharto dimulai dengan tragedi pembunuhan 6 jendral disusul pembunuhan massal terhadap individu dan kelompok yang dinilai memiliki paham dan afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Semenjak itu PKI dan komunisme dicap sebagai paham dan kelompok terlarang. Korban pembunuhan tidak hanya jatuh dari pihak yang dituduh sebagai PKI dan komunis, sebab militer merangkul berbagai kelompok agama seperti Nahdatul Ulama (NU) untuk menumpas sisa-sisa PKI dan komunisme. Akibatnya diperkirakan hingga dua juta penduduk muslim di Jawa Timur berpindah agama untuk menyelamatkan diri dari konflik horizontal.[5]

Sebagai jendral militer yang memimpin penumpasan PKI dan komunisme, Suharto mendaulat dirinya sebagai pimpinan negara dan memperkuat poros pendukungnya dengan mendirikan Golongan Karya (Golkar). Tidak hanya itu, pada tahun 1973 pemerintah mengeluarkan aturan bahwa hanya diperbolehkan satu partai berlandaskan agama, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).[6] Hal ini mengakibatkan hanya terdapat dua partai (Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan) dan satu organisasi yang awalnya enggan disebut partai oleh Suharto, yakni Golkar.

Menurut Kusumadewi, orde baru mengikuti pembagian karakteristik Islam yang dipetakan oleh C. Snouck Hurgonje, yakni Islam agama atau Islam kultural dan Islam politik. Melalui pemetaan tersebut, Suharto meningkatkan aktivitas Islam agama atau kultural dan menekan Islam politik. Selain melaksanakan depolitisasi, orde baru juga menjalankan ‘politik pengabaian’ untuk mengurangi kelompok aliran yang muncul serta kepercayaan lokal. Secara kongkret, sejak tahun 1978, orde baru melaksanakan pengawasan aliran melalui Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Tercatat sekitar 517 aliran kepercayaan lenyap antara tahun 1949 hingga tahun 1992.[7]

Pada dasarnya orde baru telah secara sistematis meredam menguatnya identifikasi kawan dan lawan yang sangat wajar muncul dalam rezim yang demokratis. Berbagai paham persatuan ditanamkan melalui indoktrinasi, salah satunya dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Melalui P4 dan berbagai program indoktrinasi orde baru lainnya, Pancasila justru dijadikan sebagai alat melanggengkan kekuasaan dan menekan kritik. Sangat rawan bagi kelompok di luar pemerintahan yang mengkritik presiden ketika itu dilabeli sebagai ‘subversif’, ‘Organisasi Tanpa Bentuk’, ‘anti-Pancasila’ atau ‘tidak Pancasila-is’.

Orde baru dan Suharto tidak hanya diingat karena lama periodenya, namun salah satunya juga disebabkan oleh diutamakannya sektor ekonomi sebagai ‘panglima pembangunan’ dibandingkan sektor politik. Sehingga selain penyederhanaan partai, berbagai kelompok organisasi masyarakat era orde baru begitu terbatas melaksanakan kegiatannya. Integrasi koersif era orde baru terbukti dengan efektif menekan konflik horizontal. Meskipun sejak tahun 1990-an terdapat beberapa konflik yang terjadi, namun konflik tersebut tidak meluas, karena penyebaran informasi melalui media massa juga dikendalikan dengan ketat oleh orde baru. Integrasi koersif oleh orde baru melalui indoktrinasi, peleburan partai dan berbagai ‘politik pengabaian’ terhadap kelompok masyarakat dan aliran kepercayaan menjadi catatan penting pada perkembangan kebangsaan Indonesia. Setelah Suharto lengser pada 1998, praktik integrasi koersif ditolak dan diubah oleh berbagai lapisan masyarakat. Era reformasi yang telah diakui oleh berbagai ilmuan politik sebagai demokratisasi Indonesia menandai tanggung jawab bangsa untuk dapat membangun integrasi normatif dan integrasi fungsional pada skala nasional.

Reformasi

Pada konteks kebangsaan, setelah lengsernya orde baru, banyak muncul konflik seperti akumulasi dari lebih 30 tahun kemarahan yang tertahan. Etnis keturunan Tionghoa banyak menjadi korban harta dan jiwa. Beberapa konflik berbau SARA juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Gerry van Klinken berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi selama periode transisi bersifat politik namun tidak memiliki hubungan langsung. Pemicu dan pelaku konflik menurut van Klinken bukanlah kelas menengah ataupun kelompok aktivis yang melengserkan orde baru, akan tetapi orang yang mengklaim didukung oleh latar belakang etnis dan agama tertentu.[8] Meski demikian van Klinken kesulitan untuk membuktikan bahwa konflik komunal yang terjadi didorong oleh kelompok politik tertentu.

van Klinken berpendapat bahwa latar belakang etnis bukanlah hal utama yang menyebabkan munculnya konflik komunal di berbagai daerah, seperti di Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Poso dan Ambon. Melandaskan analisanya pada sensus tahun 2000, menurut van Klinken sensus tersebut pertama kalinya penduduk ditanyakan mengenai latar belakang suku dan etnisnya, setelah 70 tahun tidak didata. Hasilnya ia menyimpulkan bahwa korelasinya sangat lemah antara tingkat keberagaman dengan konflik yang terjadi. Akhirnya van Klinken berpendapat bahwa mayoritas kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh kemarahan masyarakat terhadap orde baru yang dilampiaskan tanpa arah. Bentuk kemarahan tersebut disebut oleh van Klinken sebagai kekerasan yang irasional.[9]

Pendapat van Klinken mungkin kurang bisa diterima untuk digeneralisasi ke seluruh Indonesia. Salah satu contohnya, resolusi konflik di Ambon sendiri pada akhirnya mendamaikan kerusuhan antar umat beragama, yakni Islam dan Kristen, dengan sumpah kebudayaan yang disebut pella dan gandong. Pella adalah sebuah perjanjian yang dibuat antar desa, kampung atau wilayah untuk menghidupkan rasa senasib sepenanggungan. Sedangkan gandong adalah sebuah pengingat bahwa suatu kelompok masyarakat tertentu memiliki garis keturunan yang sama. Alhasil dengan Pella Gandong tersebut konflik di Ambon, Maluku, dapat berakhir dan umat beragama dapat rukun hingga kini.

Setelah Suharto mengundurkan diri, segera BJ Habibie menjabat sebagai Presiden. Selama kurang lebih setahun kepemimpinannya, Habibie membuka lebar-lebar keran demokratisasi dan desentralisasi, yang tentu sejalan dengan dorongan reformasi 1998. Pada konteks desentralisasi, salah satu hal yang paling diingat hingga kini adalah dilaksanakannya referendum bagi Timor Timur yang berujung pada terpisahnya wilayah tersebut dari Republik Indonesia. Pada demokratisasi, Presiden Habibie melepaskan tahanan politik, menghapus sensor media massa, mencekal pelanggar HAM dan koruptor, dan yang paling penting adalah mempersiapkan pemilihan presiden berikutnya.

Robert W. Hefner menyebut pemilihan presiden pasca reformasi sebagai ‘The Great Hope’. Hefner menyoroti bahwa setelah reformasi, wacana mengenai negara Islam muncul kembali, akan tetapi dukungan terhadap kelompok konservatif Islam pada tahun 1999 jauh menurun dibandingkan tahun 1955. Jika pada tahun 1955 dukungan terhadap partai Islam sebesar 44%, pada tahun 1999 hanya sebesar 16%.[10] Pemilihan Presiden pada tahun 1999 yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tidak terlepas dari isu agama dan golongan. Menurut catatan Hefner, ketika itu Abdurrahman Wahid didukung oleh kelompok Islamis yang beranggapan Megawati Sukarno Putri sebagai sosok yang sekuler.[11] Presiden Abdurrahman Wahid sendiri akhirnya memimpin hampir selama 2 tahun, sejak 20 Oktober 1999 hingga dituntut untuk mengundurkan diri pada 23 Juli 2001 karena berbagai kebijakannya. Alhasil Megawati Sukarno Putri diambil sumpahnya untuk menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian beliau menjabat sebagai Presiden sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.

Uncivil Society & Bad Civil Society

Kembali pada pembuka tulisan ini, bahwa demokrasi di Indonesia tengah mengalami paradoks setelah berhasil keluar dari rezim yang otoriter. Sejak awal pembentukan institusi yang demokratis telah muncul kelompok masyarakat yang menonjolkan aspek tidak demokratis. Baik yang menggunakan kekerasan ataupun bentuk diskriminasi lain dalam metode kelompoknya. Hefmer menggunakan istilah Uncivil Society terhadap Front Pembela Islam (FPI), Laskar Mujahidin dan Laskar Jihad. Sedangkan Simone Chambers dan Jeffrey Kopstein secara khusus menulis jurnal mengenai “Bad Civil Society” sebagai argumentasi betapa berbahayanya kelompok sipil yang anti demokrasi, walaupun pada negara demokrasi yang paling stabil sekalipun.[12]

Secara eksplisit Hefner menyebut terdapat elit-elit yang turut berkontribusi bagi terbentuknya FPI pada 17 Agustus 1998. Ketika reformasi pendiri FPI yang telah memiliki pengikut sebelumnya, diminta untuk membantu melindungi MPR RI bersama Pam Swakarsa oleh elit terkait. Selain itu pada tahun 2001, FPI juga membantu Golkar untuk memberangus toko-toko buku yang masih menjual buku yang bermuatan komunisme dan sosialisme. Akan tetapi menurut Hefner FPI punya tujuan sendiri. Yakni tindak main hakim sendiri atas berbagai dalih penegakan syariat Islam, baik penutupan paksa rumah ibadah, penutupan diskotek, pelarangan minuman keras, dan lain sebagainya.[13]

Mark Woodward, M. Yahya, I. Rohmaniyah, C. Lundry, dan A. Amin berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh FPI telah dapat didefinisikan sebagai terorisme. Mereka mengacu pada definisi militer Amerika yakni:

“the calculated use of unlawful violence or threat of unlawful violence to inculcate fear, inteded to coerce or to intimidate governments or societies in the pursuit of goals are generally political, religious, or ideological”[14]

FPI bergerak dengan landasan menegakkan syariat Islam. Tentu syariat Islam di Indonesia mengacu pada berbagai fatwa atau pendapat keagamaan yang berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Akan tetapi selain karena fatwa dan pendapat keagamaan MUI merupakan sebuah himbauan yang patut untuk diimani secara independen oleh umat beragama Islam di Indonesia, FPI tidaklah memiliki hak di mata hukum untuk bertindak secara sewenang-wenang. Secara garis besar yang membuat diskursus mengenai FPI tidak dianggap sebagai kelompok teror adalah karena FPI atau organisasi serupa menggunakan fatwa MUI sebagai landasan kegiatan diskriminatifnya. Woodward et. al menyimpulkan bahwa ada dua kemungkinan kenapa organisasi seperti FPI dapat bertahan, yakni karena pemerintah terlalu lemah untuk membendung FPI atau tidak adanya political will untuk menghadapi FPI.[15]

Kelompok sipil seharusnya bahu membahu memperkuat konsolidasi demokrasi sesuai dengan kepentingannya. Seperti halnya LSM, organisasi serikat buruh dan lain sebagainya yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan yang eksklusif, namun juga bagi kepentingan publik. Secara tegas Andi Rahman Alamsyah menyatakan mereka yang tidak turut mempromosikan inklusivitas, toleransi, anti kekerasan dan diskriminasi, serta adab bermasyarakat adalah bad civil society.[16]

Kembali pada konsep yang dipaparkan oleh Chambers dan Kopstein, negara turut memelihara bad civil society ketika terjadi keadaban yang partikular (particularist civility). Chambers dan Kopstein yakin bahwa bad civil society dapat tumbuh subur pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkat sosial dan ekonomi yang rendah. Akan tetapi hal tersebut tidak terlalu berpengaruh apabila isu yang dipermasalahkan berkaitan dengan kepentingan eksklusif, bukan kepentingan publik. Berkaitan dengan paradoks dalam demokrasi, kebebasan berkumpul dan berserikat (freedom of association) tidak jarang juga digunakan oleh bad civil society untuk mempertahankan dirinya di kala terancam.[17]

Integrasi Kebangsaan dan Konsolidasi Demokrasi          

Menyikapi keberagaman bangsa Indonesia dengan berbagai latar belakang etnis, agama, bahasa dan lain sebagainya, seharusnya masyarakat bisa memiliki visi mengonsolidasikan diri sesuai Pancasila dan konstitusi, UUD 1945. Mouffe berpendapat bahwa pada kondisi alami demokrasi yang mencakup kawan dan lawan, serta pertentangan gagasan dan kepentingan, perlu adanya seperangkat nilai bersama yang dihormati.[18] Sedangkan isu primordialisme, yakni agama dan etnik baru-baru ini terkesan menjadi alat mobilisasi politik, Pilkada DKI Jakarta 2017.

Beberapa waktu lalu ‘Aksi Bela Islam’[19] ramai menjadi topik pembahasan di berbagai media massa nasional. Aksi Bela Islam yang mempermasalahkan pernyataan kontroversial dari Basuki Tjahaja Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta, tidak hanya menjadi permasalahan satu daerah saja. Sebab pada perkembangannya Aksi Bela Islam gelombang II, III dan IV turut melibatkan peserta aksi dari berbagai daerah, termasuk peserta yang berdatangan dari luar Pulau Jawa. Tidaklah berlebihan kalau dikhawatirkan Aksi Bela Islam yang terpusat di DKI Jakarta rawan memicu konflik berlandaskan SARA di wilayah lain.

Sebenarnya Aksi Bela Islam bisa saja menjadi sebuah gambaran yang baik sebagai kemampuan masyarakat sipil dalam menyuarakan pendapat dan pandangannya dalam rezim yang demokratis. Namun sayangnya pengerahan massa dengan landasan pandangan keagamaan MUI menjadi terkesan kontraproduktif. Sebuah bunga rampai yang berjudul Bela Islam atau Bela Oligarki merumuskan berbagai tanggapan yang secara umum mengaitkan antara analisa kelas dengan motivasi mobilisasi tersebut. Secara garis besar penulis Bela Islam atau Bela Oligarki menyayangkan mobilisasi massa begitu mudah dilaksanakan, bahkan hingga empat gelombang, atas nama penistaan agama, namun tidak dengan kelaliman kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat kelas menengah ke bawah.[20] Secara jelas pula aksi gelombang keempat pada 11 Februari 2017 lalu berubah dari yang sebelumnya menuntut penegakan hukum menjadi “tolak pemimpin kafir”. Apakah anak Indonesia tidak dapat bercita-cita menjadi Walikota/Bupati, Gubernur, Presiden, tanpa mengkhawatirkan label kafir dari massa aksi mendatang?

Menurut Wirutomo, Indonesia adalah proyek yang belum selesai, sehingga untuk melanjutkan proyek ini, perlu secara intensif membicarakan struktur, proses sosial, perubahan sosial serta fenomena sosiologis yang berkaitan seperti globalisasi dan berbagai relasi sosial.[21] Wirutomo membuat poin yang sangat baik untuk terus didiskusikan bahwa integrasi bangsa yang beragam dengan integrasi bangsa yang seragam perlu dengan ketat diperhatikan. Sebab keseragaman akan mengakibatkan integrasi koersif, seperti yang terjadi pada orde baru, sedangkan keberagaman membutuhkan integrasi fungsional. Yakni dengan melakukan pemerataan kesejahteraan dan utamanya kesadaran berbangsa.[22]

Uncivil Society atau Bad Civil Society memang menjadi massa cair yang siap untuk diberikan komando sesuai pemimpin gerakan, bahkan Wirutomo telah menuliskan solidaritas agama yang menyalahgunakan demokrasi berpotensi menjadi agresivitas massal yang anarkis. Bahkan mengarah pada civil disobedience, yakni ketidakpedulian pada segala peraturan yang ada.[23] Namun negara tetap harus mempertahankan konsolidasi demokrasi sebelum potensi tersebut benar menjadi nyata.

Menurut Rogers Brubaker, etnik bukanlah rintangan utama dan bukan pula komponen utama dalam usaha mencapai pemahaman sebangsa. Nationalising state merupakan komponen yang rumit dari kehadiran negara dalam membentuk integrasi pasar, birokrasi, sistem pendidikan, transportasi, jaringan informasi, militer, dan lain sebagainya. Komponen rumit tersebut perlu untuk membangun pemahaman ‘trans-etnik’ atau ‘supra-etnik’ dengan mendorong perlakuan yang lebih universal, seperti penegakan hukum, pemerataan kesejahteraan, pemenuhan HAM dan anti diskriminasi.[24]

Promosi kebangsaan idealnya memang tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, dan sudah sepatutnya negara mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk turut mempromosikan persatuan bangsa. Nationalising state harus secara berulang dan konsisten dilakukan ke berbagai lapisan masyarakat. Model keterlibatan masyarakat dapat berupa dukungan pemerintah terhadap berbagai gerakan sosial ataupun komoditas ekonomi yang secara konsisten dan fokus mengulas nilai integrasi dan nasionalisme.

Indonesia tidak kekurangan pengalaman dan rekam sejarah mengenai usaha mencapai pemahaman sebangsa (nationalising state). Sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan integrasi dan konsolidasi demokrasi tidak menggunakan pola koersif, termasuk pada kelompok yang ingin ‘membajak’ demokrasi sekalipun. Ancaman terhadap konflik horizontal yang diantisipasi dengan menekan pertumbuhan civil society bukanlah langkah yang tepat, sebab pertentangan gagasan dan kepentingan merupakan kondisi alami dalam demokrasi. Penggunaan SARA sebagai alat mobilisasi politik, baik disengaja maupun tidak disengaja, merupakan sebuah bentuk pengulangan yang telah terjadi sejak Indonesia merdeka, awal transisi era reformasi dan yang terjadi baru-baru ini. Karenanya uncivil society dan bad civil society penting untuk dikaji lebih lanjut dan diantisipasi ancamannya dalam dinamika integrasi kebangsaan Indonesia.

[1] Chantal Mouffe, The Democratic Paradox, (New York, United States of America: Verso, 2000), hal.121

[2] Kementerian PPN/Bappenas, Laporan Koordinasi Strategis Penyusunan Rencana Aksi Strategi Nasional (Stranas) Pemantapan Wawasan Kebangsaan dan Karakter Bangsa dalam Rangka Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa,http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Kajian%20Ditpolkom/4)%20Kajian%20Tahun%202015/Stranas/Final%20Laporan%20Stranas%202015.pdf, (diunduh pada 9 Februari 2017)

[3] Paulus Wirutomo, “Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep” dalam Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 2012), hal.35

[4] Ibid, hal.5

[5] Lucia Ratih Kusumadewi: “Relasi Sosial Antar kelompok Agama” dalam Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 2012), hal.147

[6] Felix Heiduk, “Between A Rock and A Hard Place: Radical Islam in Post-Suharto Indonesia”, IJCV: Vol. 6 (1) 2012, pp. 26-40, hal.30

[7] Lucia Ratih Kusumadewi, Op Cit, hal.150

[8] Gerry van Klinken, Communal Violence and Democratization in Indonesia, (New York: Routledge, 2007), hal.18

[9] Ibid, hal.19-21

[10] Robert W. Hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization (New Jersey: Princeton University Press, 2005), hal.278-279

[11] Ibid, hal.280

[12] Lihat Ibid, hal.284 dan Simone Chambers dan Jeffrey Kopstein, “Bad Civil Society” di dalam Political Theory, Vol.29, No.6 (Dec., 2001), pp.837-865, hal.838-839

[13] Robert W. Hefner, Op Cit, hal.285-286

[14] Mark Woodward et. al, “The Islamic Defenders Front: Demonization, Violence and the State in Indonesia” dalam Cont Islam (2014) 8:153-171, hal.154

[15] Ibid, hal.169

[16] Andi Rahman Alamsyah, “Civil Society dan Integrasi dalam Konteks Demokrasi” dalam Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 2012), hal.281

[17] Selengkapnya lihat Simone Chambers dan Jeffrey Kopstein, Op Cit,

[18] Chantal Mouffe, Op Cit, hal.121

[19] “Aksi Bela Islam” merujuk pada gerakan kelompok masyarakat beragama Islam yang menuntut agar pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dalam kunjungan kerja di Kabupaten Kepulauan Seribu (27 September 2016) yang dinilai menistakan agama Islam dan menghina Ulama untuk diproses secara hukum. Terdapat empat gelombang Aksi Bela Islam, yakni: (I) tanggal 14 Oktober 2016, (II) tanggal 4 November 2016, (III) tanggal 2 Desember 2016 dan (IV) tanggal 11 Februari 2017.

[20] Dede Mulyanto dan Coen Husein Pontoh (ed), Bela Islam atau Bela Oligarki?: Pertalian Agama, Politik dan Kapitalisme di Indonesia, (Pustaka IndoPROGRESS dan Islam Bergerak, 2017), dapat diunduh pada https://www.dropbox.com/s/k7appn77mmhaltpt/Aksi_Bela_Islam-IP-IB.pdf?dl=1&pv=1

[21] Paulus Wirutomo, Op Cit, hal.8

[22] Paulus Wirutomo, Op Cit, hal.289

[23] Ibid, hal.315

[24] Rogers Brubaker, “Nationalising States in the Old ‘New Europe’ – and the New”, hal.413-414

Dear Provokasi,

Apa iya Provokasi sudah seprovokatif namanya? Biarkan pertanyaan tersebut menggantung dan tentukan sendiri dari perkembangan yang ada. Soalnya gerakan mahasiswa yang sudah-sudah, hanya “hangat-hangat tai ayam”.

Tulisan ini merupakan bentuk penepatan janji terhadap salah seorang sahabat yang menurut penuturannya sangat menyayangi Vokasi UI. Mohon maaf ya janjinya baru bisa ditepati saat ini dan sempat terpikirkan untuk diingkari.

Jadi Provokasi, kalau gue lihat dari akun Line@ Provokasi, masalah Vokasi UI banyak juga ya? Boleh gue bantu menambahkan masalah-masalahnya? Siapa tau gue bisa ikutan jadi Mahasiswa Sotoy.

  1. Lahirnya Vokasi UI

Sebelum diselenggarakan secara terpusat seperti sekarang ini, D-3 UI diselenggarakan di beberapa Fakultas di UI. Rencana sentralisasi D-3 UI baru muncul pada tahun 2008, ditetapkan melalui Keputusan Rektor UI Nomor: 492/SK/R/UI/2008 tentang Pembentukan Program Vokasi Universitas Indonesia. Keputusan rektor tersebut tentu memiliki acuan, yakni salah satunya Keputusan MWA UI No.004/MWA-UI/2008 tentang Norma Penyelenggaraan Program Pendidikan Vokasi di Universitas Indonesia. Tapi acuan tersebut tidak berbicara mengenai Program Vokasi UI. Ayat (4) ketetapan “Pertama” berbunyi:

“Setiap jenjang dan program Pendidikan Vokasi ditetapkan oleh Universitas atas usul penyelenggara yang dalam hal ini adalah fakultas atau lembaga pengelola program pendidikan vokasi di Universitas Indonesia yang ditetapkan kemudian”.

Pertanyaannya, “fakultas” yang dimaksudkan pada ayat (4) tersebut apakah berbicara tentang Program Vokasi UI yang akan dipusatkan dalam penyelenggaraan setaraf fakultas, atau fakultas yang masih menyelenggarakan Program Diploma sebelum dipusatkan?

Pada tahun 2008, Rektor UI ketika itu menetapkan arah pembangunan UI dalam sebuah dokumen rencana pembangunan berjudul Rencana Induk (Master Plan) Kampus Universitas Indonesia Depok 2008. Rektor UI ketika itu memiliki impian membangun tiga rumpun ilmu di UI, yakni: Rumpun Ilmu Kesehatan, Rumpun Ilmu Sains dan Terapan, Rumpun Ilmu Sosial dan Humaniora. Pembentukan rumpun tersebut kabarnya akan dapat mendongkrak nama UI ke jajaran World Class University. Bagaimana dengan Vokasi? Ini proyek ambisius, Rektor UI mengundang Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) untuk bergabung kembali dengan UI untuk mendirikan UI College.[1] Ada dua tujuan utama yang bisa kita tebak-tebak –namanya juga mahasiswa sotoy-, pertama PNJ punya tanah yang cukup luas dan menjadi bagian dari Master Plan UI dan; kedua PNJ memiliki tenaga pengajar dan administrasi yang telah lebih dahulu memahami seluk-beluk Diploma.

Boleh kalau ada yang nggak setuju, tapi gue melihat kelahiran Vokasi UI ketika disentralisasi sangat prematur. Belum ada integrasi kurikulum baik untuk mata kuliah wajib umum maupun mata kuliah wajib khusus. Belum jelasnya kelanjutan kerjasama dengan PNJ.  Ditambah lagi sepertinya ada misscomm antara MWA dan Rektor UI. MWA UI selaku lembaga pengawas universitas merasa Rektor UI belum memberikan pemaparan dan laporan mengenai sentralisasi Program Vokasi UI.[2] Kalau pelaksana dan pengawasnya saja tidak berkomunikasi, bagaimana dengan stakeholders-nya? Kita mah apa, hanya menerima dampak kebijakan tanpa dilibatkan.

Pembangunan gedung Vokasi UI direncanakan dilaksanakan dalam dua tahap.[3] Menurut lelang pembangunan Gedung Vokasi UI Tahap I yang mulai dibangun pada 9 Agustus 2010, gedung UI College harusnya tuntas seluruhnya pada tahun 2013 dengan daya tampung 11.700 mahasiswa, 30 staf pengelola, 240 staf pengajar dan 110 karyawan. Kenyataannya Program Vokasi UI batal menjalin kerjasama merger dengan PNJ, rencana awal UI College berdiri di atas lahan 10 hektar, kini hanya memiliki lahan 4 hektar. Kenyataan lain, per Desember 2015, mahasiswa Vokasi UI angkatan 2013, 2014 dan 2015 via data yang diolah UI Bersatu sejumlah 3438 orang. Jauh dari proyeksi awal.

  1. Biaya Pendidikan Vokasi UI

Gue masih belum paham kenapa biaya pendidikan di Program Vokasi UI bisa sangat “istimewa” dibandingkan fakultas lainnya. Sebegitu istimewanya sehingga mahasiswa Program Vokasi UI dilarang memperoleh sistem berkeadilan sebagaimana yang diperoleh mahasiswa UI di fakultas lain.[4] Ada yang tau kenapa?

Seringkali jawaban jajaran Rektorat UI sih karena Vokasi UI bukan program reguler. Iya, pertanyaannya kenapa tidak diselengsgarakan sebagai program reguler?; atau dengan pembagian reguler-paralel sebagaimana fakultas lain diselenggarakan? Gue juga heran, kenapa Provokasi tidak mempertanyakan hal ini? Ya nggak masalah kalau seluruh mahasiswa Vokasi UI itu anak dari orang tua/penanggung biaya yang mampu. Lah ini setiap semester banyak yang nunggak karena mengira dengan berkuliah di Vokasi UI bisa cepat lulus dan dapat kerja sesuai studi yang ditempuh. Beruntung ada dana kolektif peduli sesama, tapi apa iya solusinya sudah menyasar akar permasalahan? Itu yang dibantu hanya yang terdata, gimana dengan yang tidak terdata?

Mari kita lihat Pasal 9 ayat (2) Permenristek Dikti No.22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang berbunyi:

“Jumlah mahasiswa baru Program Sarjana dan Program Diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 20% (dua puluh persen) dari keseluruhan mahasiswa baru”

Silahkan cek Pasal 9 ayat (1) yang intinya berbicara tentang PTN diizinkan untuk memungut uang pangkal di luar UKT. Jadi apa maksudnya? Ya ini interpretasi ala mahasiswa sotoy, gue si pahamnya kalau begitu mestinya Vokasi UI yang tidak lain dan tidak bukan merupakan Program Diploma juga harusnya diterapkan UKT 80% di luar mahasiswa non reguler. Kenapa harus UKT? Karena kalau sudah UKT, mahasiswa Vokasi UI bisa mengikuti sistem berkeadilan yang terkenal itu, yaitu BOP-B. Barangkali BOP-B hanya mitos bagi mahasiswa Vokasi UI.

Dari penelusuran gue yang sotoy ini, mahasiswa baru 2016 nanti paralel di beberapa fakultas memang akan menurun kuantitasnya, begitupun dengan kuantitas mahasiswa Vokasi UI. Tapi ini masih belum menjawab “kenapa Vokasi UI tidak UKT?”.

Menurut data seluruh mahasiswa UI yang dikumpulkan oleh panitia Pemira IKM UI 2015 dan diolah oleh UI Bersatu, mahasiswa angkatan 2013, 2014 dan 2015 Vokasi UI per Desember 2015 menduduki prosentase 15% dari seluruh mahasiswa UI. Sedangkan program reguler di UI sendiri masih menduduki angka 54% yang artinya UI belum memenuhi amanat Pasal 9 ayat (1) dan (2) Permenristek Dikti 22/2015. Kenapa kok hanya menggunakan data angkatan 2013, 2014 dan 2015? Sederhana, karena aturan UKT baru hadir pasca UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan aturan Permendikbud No. 55 Tahun 2013 muncul.

Data UI per Desember 2015

Menurut Pasal 64 UU No.12 Tahun 2012, UI sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) memiliki otonomi untuk melakukan pengelolaan di bidang akademik dan non akademik. Beberapa PTN BH yang memiliki Program Diploma seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) meletakkan Program Diplomanya ke dalam kelompok UKT.[5] Kenapa Vokasi UI tidak UKT? Padahal kampus lain dengan otonomi yang sama, meletakkan Diplomanya ke dalam kelompok UKT?

Mungkin Provokasi ingin menanyakan hal ini juga. Kampus lain saja bisa, Yakali UI?

  1. Pembangunan Gedung Vokasi UI

Pembangunan gedung Vokasi UI seperti yang gue tuliskan di poin pertama, Tahap I dan Tahap II ditargetkan selesai pada tahun 2013. Kenyataannya, hingga tahun 2015, gedung yang dinikmati mahasiswa Vokasi UI itu masih pembangunan Tahap I. Artinya pembangunan Vokasi UI Tahap II jauh dari rencana awal.

UI College

Ya kalau lihat apa yang dipermasalahkan Provokasi, kok ya hanya tentang kantin? Kantin itu penting, tapi mahasiswa Vokasi UI kuliah sampai malam dan hari Sabtu juga, bukan karena kantinnya dibongkar. Tapi karena ruangannya tidak memadai dan alasan kesediaan dosennya. Gue nggak tahu mana yang lebih dominan, faktor ruangan kah atau faktor kesedian dosen kah, tapi yang jelas bukan karena kantin kan?

Lelang Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Gedung Vokasi UI Tahap II sudah selesai dilaksanakan menggunakan anggaran tahun 2015 dengan nilai pagu paket Rp 41.726.210.749,00.[6] Pembangunan tersebut dianggarkan untuk pelaksanaan single year[7] yang hingga menjelang April 2016 ini belum berasa ya pembangunannya? Coba ditanyakan ke Rektor UI saat ini, Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2016 sudah ditandatangani apa belum. Ibarat APBN, RKA itu penting untuk penggunaan anggaran unit terkecil di UI. Hingga April 2016 ini setau gue si RKA UI 2016 tersebut belum ditandatangani. Ya kita yang mahasiswa sotoy ini memang tidak punya akses ke RKA sih ya, hanya rakyat jelata. Itu ya kalau Mahasiswa Sotoy di Provokasi memang memandang pembangunan Vokasi UI tidak hanya tentang kantin ya.

  1. “Vokasi bukan Core Business UI”

Ini sih gue belum pernah dengar langsung, tapi gue dengar dari beberapa sumber yang berbeda, pernyataan tersebut datangnya dari Pak Muhammad Anis, Rektor kita. Jadi Vokasi UI ini dianggap apa? Jujur pernyataan tersebut sangat membekas dan membuat gue bertanya-tanya, “..bukan core business UI” kok tapi nggak disediakan mekanisme biaya pendidikan yang berkeadilan. Apa mungkin maksudnya bukan urusan yang diprioritaskan kali ya?

Pak Anis bukanlah orang baru di jajaran Rektorat. Beliau telah menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan semenjak tahun 2007.[8] Ketika masa jabatan Rektor UI 2007-2012 habis, Pak Anis mencalonkan diri sebagai penggantinya. Karena kekosongan jabatan, 2012 hingga 2013 UI diisi oleh pelaksana tugas (plt) Dirjen Dikti Prof. Dr. Ir Djoko Santoso M.Sc. Barulah sejak 2013 karena proses Pemilihan Rektor (Pilrek) yang tertunda, Prof Anis diamanahi sebagai plt. Pada Pilrek 2014 Prof Anis menduduki jabatan rektor definitif setelah memperoleh suara mayoritas dari pemungutan suara yang dilakukan oleh unsur di dalam MWA UI.

Rektor kita yang saat ini menjabat jelas bukan orang baru, beliau telah dekat dengan dunia kemahasiswaan dan administrasi tata kelola UI semenjak masih menjabat di Fakultas Teknik UI. Gue ingin menyoroti kiprahnya ketika tahun 2007 beliau menjabat sebagai Wakil Rektor. Dimana pada tahun berikutnya, tahun 2008, SK Rektor tentang Pembentukan Program Vokasi UI keluar. Tidak lupa juga Master Plan UI pun keluar pada tahun 2008. UI College menggema dan mengundang PNJ untuk bergabung kembali seketika Program Vokasi UI ingin diluncurkan dan diselenggarakan secara terpusat. Kini ketika UI College batal diselenggarakan dan merger dengan PNJ juga batal dilaksanakan, mengapa pernyataan “Vokasi bukan core business UI” muncul? Wakil Rektor UI bidang akademik dan kemahasiswaan yang dijabat oleh Prof Anis pada tahun 2007 melalui Keputusan Rektor UI No: 690/SK/R/UI/2007 tentang Perbaikan Struktur Organisasi Inti Universitas Indonesia, membawahi banyak direktorat, diantaranya: Pendidikan, Kemahasiswaan dan Pengembangan Akademik. Selain itu beliau juga membawahi Rumah Sakit Pendidikan, Perpustakaan, dan Pelayanan dan Pengembangan Sumber Daya Pembelajaran. Unsur Pelaksana Akademik seperti Dekan Fakultas, Ketua Program Pascasarjana dan Ketua Program Vokasional berkaitan dengan koordinasi pimpinan yang pastinya sangat melibatkan wakil rektor.

Dugaan ala gue yang sotoy ini, apa mungkin rencana pendirian Vokasi UI sebagai penghasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam bidang kerja tertentu sehingga dapat langsung diserap sebagai tenaga kerja di industri/swasta, lembaga pemerintah atau berwiraswasta secara mandiri.[9] ini sudah berubah? Mungkin beliau lupa atau ada jawaban yang belum sebenarnya? Siapa tau Provokasi ingin mengingatkan dan menanyakan lagi.

Gue rasa cukup segitu aja ngelantur sotoynya. Silahkan diambil manfaatnya kalau ada, kalau nggak ada ya abaikan saja.

Semoga Provokasi nggak sekedar jadi angin lalu dalam memperjuangkan permasalahan-permasalahan di Vokasi UI.

I for one believe that if you give people thorough understanding of what confronts them and basic causes that produce it, they’ll create their own program, and when the people create a program, you get action

–Malcolm X

Salam,

Hafizh Nuur

Mahasiswa Sotoy Wanna Be!

[1] Rencana Induk (Master Plan) Kampus Universitas Indonesia Depok 2008, 31

[2] Membangun di Atas Puing Integritas, 2012

[3] “Groundbreaking Vokasi UI: Pembangunan Gedung Vokasi UI Tahap I”, terbit pada 11 Agustus 2010, http://www.bumn.go.id/waskita/berita/73/PEMBANGUNAN.GEDUNG.VOKASI.UI.TAHAP.I , diakses pada 22 April 2016

[4] Wnd, “Skema Pembayaran Apa Saja yang Tersedia untuk Mahasiswa UI?” http://www.ui.ac.id/notice/skema-pembayaran-apa-saja-yang-tersedia-untuk-mahasiswa-ui.html , diakses pada 24 April 2016

[5] Lampiran I Permenristek Dikti No.22/2015

[6] “Pengumuman Lelang Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Gedung Program Pendidikan Vokasi UI Tahap II”, http://www.ui.ac.id/notice/pekerjaan-konstruksi-pembangunan-gedung-program-pendidikan-vokasi-ui-tahap-ii.html, diakses pada 22 April 2016

[7] Informasi Lelang Pekerjaan Konstruksi Pembangunan Gedung Program Pendidikan Vokasi UI Tahap II http://lpse.ui.ac.id/eproc/lelang/view/617190;jsessionid=05F30606BFBD5C612A80F10DA730D4E8

[8] Profil Prof. Dr. Ir Muhammad Anis, M.Met, http://staff.ui.ac.id/anis, diakses pada 22 April 2016

[9] “Vokasi”, http://simak.ui.ac.id/vokasi.html#sthash.2HUUH97g.dpuf diakses pada 23 April 2016

Gerakan Mahasiswa UI Perlu Belajar dari Gerakan Buruh

Pada awal November 2015 lalu media ramai memberitakan mengenai mogok nasional yang dilakukan oleh berbagai serikat buruh dalam menanggapi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Mengamati rapih dan solidnya perumusan kajian dan perencanaan gerakan buruh dalam menanggapi PP tentang Pengupahan tersebut, jelas, timbul pertanyaan sekaligus harapan, kapankah gerakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dapat mencontoh keterorganisiran gerakan buruh.

Ada kesamaan pada landasan bergerak, yakni tuntutan akan hak. Gerakan buruh mengharapkan jaminan terhadap upah layak, sedangkan gerakan mahasiswa UI menuntut pada tidak naiknya biaya pendidikan. Keduanya sama-sama menuntut akan haknya masing-masing. Pada kesamaan landasan pergerakan tersebut sayangnya terdapat perbedaan signifikan dalam strategi pengkajian dan strategi eskalasi isu. Perlu diakui gerakan sosial terlanjur terpisah-pisah berdasarkan: elemen penggeraknya, isu yang diperjuangkan, tak jarang pula cara dan tujuan dalam gerakan sosial juga menjadi pemisah tajam yang kemudian mereduksi dukungan antar berbagai organisasi gerakan sosial. Implikasi paling nyata dari gerakan yang terpisah-pisah berdasarkan berbagai faktor tersebut tentu pada standar keterorganisiran yang tak menentu. Menarik untuk membicarakan bagaimanakah sebuah gerakan menentukan tujuan, membentuk formasi lalu melaksanakan berbagai strategi untuk mewujudkan tujuan awal tersebut.

Karl-Dieter Opp merangkum beberapa pandangan akademisi mengenai pemaknaan “gerakan sosial”. Menurut McCarthy dan Zald, organisasi gerakan sosial adalah sesuatu yang kompleks, dapat juga dianggap sebagai organisasi formal yang mengidentifikasi tujuan berdasarkan preferensi dari gerakan sosial atau gerakan tandingan dan bertujuan untuk mencapai tujuan tersebut (McCarthy dan Zald, 1977). Menurut Tarrow, gerakan sosial lebih baik didefinisikan sebagai tantangan kolektif, berdasarkan tujuan yang sama dan solidaritas sosial dalam interaksi yang berkelanjutan dengan elit, pihak yang bersebrangan dan pemangku kepentingan (Tarrow, 1998:4). Opp menyarankan perumusan definisi gerakan sosial (social movements) sebagai kolektifitas sekelompok orang/aktor gerakan yang ingin mencapai suatu tujuan dengan mempengaruhi target sebagai pembuat kebijakan atau pengambil keputusan (Opp, 2009:43).

Mengidentifikasi keberhasilan gerakan sosial, menurut Porta dan Diani amat bergantung pada bagaimana gerakan sosial tersebut membangun realita sosial menjadi rumusan permasalahan untuk menciptakan tujuan bergerak. Perumusan tersebut diperlukan agar aktor gerakan dapat merumuskan tujuan gerakan yang mudah dicerna oleh khalayak umum. Porta dan Diani menyebut perumusan tersebut dengan istilah “framing”. (Porta dan Diani, 2006:78-79). Lalu bagaimanakah gerakan buruh dan gerakan mahasiswa merumuskan realita sosial menjadi tuntutan yang mudah dipahami oleh target (pembuat kebijakan dan pengambil keputusan) dan khalayak umum?

Buruh: “Upah Layak” dan “Tolak PP Pengupahan”

Framing gerakan buruh menanggapi munculnya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang berusaha disampaikan kepada masyarakat yakni tolak PP Pengupahan dan upah untuk hidup layak. Pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, salah satu variabel pengupahan bagi buruh yakni penghitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sebagaimana yang ditulis oleh Januardy, bahwa ada paradigma sesuai dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia dari yang sebelumnya upah minimum menjadi “upah (untuk hidup) layak”.[1] Perkembangan paradigma tersebut menjadi alasan kuat mengapa penetapan upah harus sangat mempertimbangkan 63 (enam puluh tiga) komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Artinya penetapan upah tidak dengan memepertimbangkan KHL berpotensi tidak memenuhi standar upah layak, melainkan hanya membuat standar upah minimum tanpa melihat pemenuhan kebutuhan bagi buruh. Bahkan dikhawatirkan terjadi politik upah murah.

Selain mengangkat framing gerakan “Upah Layak”, gerakan buruh juga menolak diberlakukannya PP Pengupahan dengan framing “Tolak PP Pengupahan”. Perlu diakui PP Pengupahan hingga kini masih menuai perdebatan di berbagai kalangan, termasuk di kelompok buruh itu sendiri. Alasan utama dari “Tolak PP Pengupahan” ini disebabkan pandangan buruh bahwa PP Pengupahan tidak memihak pada upah layak. Interpretasi tersebut dapat dipahami apabila kita menilik langsung PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang telah disahkan pada 23 Oktober 2015.

Gerakan buruh mempermasalahkan ketika pertimbangan naik atau tidaknya upah hanya didasarkan pada inflasi. Sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 44 ayat (1) PP No.78 Tahun 2015 tertulis “penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum”. Formula penghitungan upah minimum tersebut tidak secara eksplisit memasukkan KHL sebagai variabel yang mempengaruhi penetapan. Padahal Pasal 88 ayat 4 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi serta produktifitas. Pada PP No.78 Tahun 2015 formula penetapan jangka panjang amat bergantung pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, imbasnya peran dewan pengupahan dan serikat buruh menjadi minim karena KHL tidak lagi ditinjau tahunan. Melainkan ditinjau lima tahun sekali.

Acuan utama inflasi sebagai faktor utama penentu upah buruh terlihat jelas dalam pernyataan Menakertrans Hanif Dhakiri yang dikutip oleh salah satu media online. Pada pernyataannya, media tersebut mengutip bahwa Menakertrans menyatakan daerah yang tidak mengikuti PP Pengupahan diasumsikan tidak akan lebih sejahtera dibanding daerah yang mengikuti aturan PP Pengupahan. Pernyataan tersebut didasari pada asumsi inflasi daerah tahun 2016 mencapai 11% dan akan memberikan keuntungan pada kenaikan gaji buruh tahun 2016. Sedangkan daerah yang tidak akan mengikuti PP Pengupahan hanya akan menerima imbas positif inflasi hingga maksimal kenaikan upah 9%.[2] Biar bagaimanapun aturan PP Pengupahan tersebut baru disahkan pada Oktober 2015 dimana pada umumnya Peraturan Gubernur tentang UMR telah disahkan pada November tahun 2015 untuk upah tahun 2016.

Jadi secara umum buruh telah menyadari apabila PP Pengupahan diterapkan, maka kenaikan upah layak setiap tahunnya bagi buruh akan sangat bergantung pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dimana setiap tahun inflasi nasional Indonesia tidak pernah lebih dari 10%. Tinjauan terhadap KHL yang dilakukan setiap lima tahun sekali juga dipertanyakan, bagaimana pengupahan dapat memastikan bahwa upah bagi buruh telah sesuai bagi 63 komponen kebutuhan pokok. Sebab KHL baru dievaluasi lima tahun sekali. Pada penjelasan Pasal 44 ayat (2) PP Pengupahan, diasumsikan KHL akan otomatis terkoreksi dengan formula penghitungan upah minimum. Hal ini disebabkan 63 komponen KHL dinyatakan menjadi kebutuhan pokok penentu inflasi.

 Mahasiswa: “Tolak Kenaikan Biaya Pendidikan”

Pada tanggal 17 Desember 2015, organisasi gerakan formal mahasiswa UI atas nama BEM UI mengaku telah mengajukan undangan audiensi publik biaya kuliah kepada Rektor UI. Selanjutnya pada tanggal 19 Desember, informasi tersebut disebarluaskan untuk mengundang publik hadir pada audiensi publik tersebut yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2015. Kemudian pada tanggal 21 Desember 2015 kembali dilaksanakan pertemuan untuk merencanakan apa-apa yang akan dipertanyakan pada Audiensi Publik tanggal 23 Desember 2015.

Perlu menjadi catatan bahwa pada pertemuan-pertemuan sebelumnya perwakilan mahasiswa telah berkumpul untuk mendiskusikan perencanaan gerakan, pembumian isu dan kajian. Pada tanggal 19 November 2015 contohnya, ketika itu perwakilan-perwakilan gerakan mahasiswa UI masih belum menentukan sikap terhadap isu, maupun framing yang akan disampaikan pada publik. Lalu pertanyaannya kemudian bagaimana bisa gerakan mahasiswa UI mengeluarkan penyikapan sebelum matang dalam perumusan kajian?

Mencoba untuk mengetengahkan diantara pandangan yang setuju untuk biaya pendidikan naik dan menolak biaya pendidikan naik, diskursus justru terjebak pada “kenapa harus naik” dan “kenapa harus menolak untuk naik”. Minimnya akses informasi mahasiswa dalam struktur interaksi antara mahasiswa dengan rektorat jelas menjadikan pertanyaan tersebut tidak akan pernah terjawab dengan tuntas dan memuaskan. Berikutnya langkah strategis untuk mengetahui kelayakan dalam penentuan biaya pendidikan bagi dirinya sendiri justru juga tidak kunjung dilakukan. Gerakan mahasiswa harus benar-benar belajar dari solidaritas kaum buruh dalam hal ini.

Alih-alih memperjuangkan kepentingan mahasiswa, justru muncul informasi yang tersebar secara masif “Mahasiswa Menggugat Rektor UI”. Memposisikan diri sebagai orang awam, jelas untuk mencapai tahap awareness, huru-hara ini berhasil menarik perhatian dengan headline-nya yang terkesan progresif. Akan tetapi begitu melihat isinya, poin utamanya adalah undangan terhadap seluruh mahasiswa UI untuk hadir dalam “Audiensi Publik Biaya Kuliah di UI”. Lalu apa? Apa yang akan diaudiensikan dan apa yang akan diperjuangkan? Kembali pada konsepsi gerakan sosial yang dirumuskan oleh Porta dan Diani, kegagalan menentukan framing berarti gagal menarik realitas yang ada untuk secara lebih luas disampaikan pada publik. (Porta dan Diani, 2009: 87).

Strategi Perumusan Kajian dan Gerakan

            Survei KHL dan Mogok Nasional

 Pada pembahasan di atas telah disampaikan gerakan mahasiswa UI dalam menyikapi isu kenaikan biaya pendidikan harus benar-benar belajar mengenai keterorganisiran dan solidaritas dari gerakan buruh dalam merespon isu PP Pengupahan. Benar, gerakan mahasiswa UI memang harus belajar dari gerakan buruh untuk dapat melihat celah strategis dan mengeksekusinya.

Sejak pertengahan tahun 2015 berbagai serikat, federasi dan konfederasi serikat buruh telah secara mandiri melaksanakan survei terhadap 63 komponen KHL. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa mengacu pada UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, KHL sangat penting sebagai salah satu pertimbangan penetapan upah layak. Survei terhadap KHL inilah yang kemudian menjadikan gerakan buruh lebih percaya diri dalam menuntut kenaikan upah tahun berjalan.

Sebelum PP Pengupahan ditetapkan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengoreksi angka KHL yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada survei KHL tersebut, KSPI pun menantang BPS untuk dapat saling mempertanggungjawabkan surveinya masing-masing. Dari hasil survei tersebut muncul lah kelompok gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah hingga 22%.[3] Selain survei KHL yang dilakukan oleh KSPI, survei KHL juga dilakukan oleh tim Rieke Diah Pitaloka (Anggota Komisi IX DPR RI). Hasil dari surveinya Rieke bahkan merekomendasikan kenaikan upah hingga 33%. Survei tersebut dilakukan oleh banyak sukarelawan yang juga berasal dari kaum buruh di beberapa pasar induk terpilih pada 7 kawasan industri.[4]

Pada tanggal 2 Oktober 2015 penulis berkesempatan untuk mengikuti audiensi yang dilakukan perwakilan buruh terhadap Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM RI dalam rangka menanyakan harmonisasi Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan. Jauh sebelum PP Pengupahan buruh bukan tanpa usaha menyikapi isu yang berkembang mengenai munculnya Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan.

Hingga pada akhirnya memutuskan dilaksanakan mogok nasional, gerakan buruh semakin gencar dalam menyuarakan framing “Tolak PP Pengupahan”. Perlu dicatat bahwa buruh beranggapan dalam perumusan PP Pengupahan tersebut tidak melibatkan buruh sama sekali. Sehingga meskipun lahirnya PP No.78 Tahun 2015 merupakan amanat dari Pasal 97 UU No.13 Tahun 2003, buruh tetap menolak PP Pengupahan. Strategi lanjutan dalam menanggapi PP No.78 Tahun 2015 ini buruh melakukan lobi-lobi politik sekaligus persiapan judicial review ke Mahkamah Agung untuk mereview kembali aturan pengupahan tersebut.

            Kajian dan Audiensi Publik

Tugas pokok dan fungsi Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa (MWA UI UM) sebagai representasi mahasiswa dalam forum MWA UI secara otomatis meletakkan amanat pembuatan kajian pada Badan Kelengkapan MWA UI UM. Kajian yang dilakukan BK MWA UI UM terakhir merilis beberapa data diantaranya:

  1. Jawaban Rektor atas 7 Poin Rekomendasi Kebijakan dari Rektor http://bit.ly/JawabanRektor
  2. Kajian Biaya Pendidikan UI http://bit.ly/BPUI2016
  3. Kajian BOPTN dan Kenaikan Biaya Pendidikan UI http://bit.ly/inflasi-boptn dan http://bit.ly/pembangunanUI
  4. Status Vokasi dan Kuota Bidik Misi http://bit.ly/VokasiUI dan http://bit.ly/KuotaBM

Tidak naiknya biaya pendidikan UI pada tahun 2015 merupakan janji kampanye Rektor UI, Prof. Muhammad Anis dalam Pemilihan Rektor UI 2014-2019. Begitupula dengan pelibatan mahasiswa dalam perumusan kesepakatan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mana pada bulan Maret 2015, Tim 5 mahasiswa menjadi perwakilan dalam perumusan UKT.[5] Sayangnya kesempatan partisipatif tersebut terkesan hanya melegitimasi sistem yang telah berjalan tanpa ada perubahan signifikan. UKT tidak ubahnya seperti sistem yang telah berjalan di UI sejak tahun 2008, yakni sistem Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP-B).

Kembali pada strategi perumusan kajian, alasan gerakan mahasiswa UI dalam melakukan penolakan kenaikan biaya pendidikan masih belum memiliki argumentasi dan data yang kuat. Pada kajian biaya pendidikan UI (http://bit.ly/BPUI2016), BK MWA UI UM masih berpendapat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh janji kampanye rektor (http://bit.ly/JawabanRektor) yang mana masih berbicara “seharusnya” tanpa diimbangi data yang mumpuni. Tentu publik bertanya-tanya berapa besar endowment fund UI, bagaimana penggunaannya, apa implikasi dari pemasukan UI yang 64%nya berasal dari Biaya Pendidikan. Sayang kajian tersebut hanya terbaca sebagai pengingat janji kampanye rektor terpilih tanpa memaparkan data terbaru.

Publik diberikan informasi umum yang mungkin jarang diketahui, bahwa Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diterima UI, tertinggi dibanding kampus lain. BOPTN yang diterima UI pada tahun 2013 tercatat senilai Rp 226.790.370.292,-. Peringkat dua diterima Universitas Terbuka sebesar Rp 100.000.000.000,. Kemudian selanjutnya Universitas Gadjah Mada dan Intitut Teknologi Bandung, dan seterusnya. Masing-masing UGM dan ITB menerima BOPTN senilai Rp 170,137,806,596 dan Rp 176,875,631,564.[6] Terkait data yang dipaparkan tersebut, BK MWA UI UM merekomendasikan meningkatkan pemasukan dari biaya pendidikan dan non-biaya pendidikan. Di penghujung kajian tersebut, penulis kajian memaparkan UI masih terkendala dengan sistem desentralisasi sehingga penerimaan yang diterima oleh UI belum dapat dikelola secara optimal. Lalu simpulan kajian dipaksakan berkaitan dengan penolakan kenaikan biaya pendidikan.

Gerakan mahasiswa UI perlu belajar dari gerakan buruh. Tanpa “diundang” oleh pembuat kebijakan, buruh secara mandiri melaksanakan survei KHL agar upah minimum menjadi upah layak. Sedangkan bagaimana dengan gerakan mahasiswa UI? Jika buruh memiliki komponen KHL untuk disurvei dan berani ditantang mengoreksi data BPS, maka sebenarnya dalam penetapan biaya pendidikan, ada yang dinamakan Student Unit Cost (SUC).

Student unit cost (SUC) merupakan besaran biaya (costs) mengacu pada penghitungan unit yang berkaitan dengan aktivitas perkuliahan mahasiswa (student).[7] Jika KHL mencakup komponen kebutuhan hidup layak yang awalnya menjadi pertimbangan utama dalam penetapan upah, maka demikian halnya dnegan SUC. Di dalam SUC terdapat rincian apa saja yang akan mempengaruhi biaya kuliah mahasiswa (yang digunakan/dimanfaatkan) pada penghitungan periode tertentu. SUC UI dihitung setiap semester dengan mempertimbangkan sarana-prasarana, gaji dosen, staf, biaya UTS dan UAS, dan lain sebagainya. Total ada 17 komponen atau unit untuk sosial dan 18 komponen atau unit untuk eksakta.[8]

Penghitungan terakhir SUC mahasiswa UI yang dimiliki oleh segelintir orang diketahui untuk tahun 2012. Angka-angka yang tercantum dalam SUC jelas sudah tidak lagi relevan dan sangat perlu dihitung ulang. Pertanyaannya kemudian dapatkah gerakan mahasiswa UI belajar untuk dapat bertindak lebih strategis? Kajian-kajian biaya pendidikan dengan landasan penghitungan pemasukan dan pengeluaran UI untuk memperdebatkan naik atau tidaknya biaya pendidikan UI tidak akan pernah mencapai argumen yang kuat. Sebab apabila perdebatan dengan landasan pemasukan dan pengeluaran UI hanya akan meletakkan penghitungan biaya pendidikan UI bergantung pada pasar (market based).

Ide dasar dari SUC, mahasiswa membayar apa yang digunakan dengan asumsi biaya pendidikan yang memang layak untuk dibayarkan. Sedangkan apabila menggunakan perhitungan dan kerangka perdebatan inflasi dan lain sebagainya hanya akan menggantungkan pendidikan sebagai harga pasaran. Pricing UI terhadap biaya pendidikan mahasiswa akan sangat bergantung pada penetapan Uang Kuliah Tunggal sesuai dengan peraturan menteri. Tanpa adanya penghitungan dan transparansi akan pemanfaatan unit cost oleh mahasiswa hanya akan memberikan gambaran UKT yang diterapkan hanya menjadi lumbung pemasukan UI. Dibanding akun pemasukan lain (ventura, damas, DIPA), biaya pendidikan merupakan pemasukan yang paling pasti. Artinyaperdebatan naik atau tidaknya biaya pendidikan akan terus berulang seiring kebutuhan UI akan dana dari pemasukan yang pasti.

Indikator Gerakan Buruh Gerakan Mahasiswa UI
Tuntutan Upah Layak Biaya Pendidikan
Elemen Gerakan Serikat, Federasi dan Konfederasi Serikat Buruh BEM, BK MWA UM, Mahasiswa
Framing “Tolak PP Pengupahan” “Menggugat Rektor UI”
Pra Aksi Audiensi (√), Kajian (√), Konsolidasi Gerakan (√), Survei KHL (√) Audiensi (√), Kajian (√), Konsolidasi Gerakan (√), Penghitungan SUC (x)
Metode Aksi Diskusi dan Mogok Kerja Nasional Audiensi Publik dan Pembumian Isu

Tabel Perbandingan Gerakan Buruh dan Gerakan Mahasiswa UI

Menggugat Rektor UI (?)

Narasi mengenai kenaikan biaya pendidikan di tahun 2016 dimulai dengan diksi “Mahasiswa Menggugat Rektor UI”. Benar-benar sebuah harapan yang muncul dari sebuah gerakan mahasiswa UI yang kembali garang dan tegas dalam bersikap. Sayangnya apa yang ingin digugat (data dan kajian) dan siapa saja yang menggugat masih mejadi pertanyaan besar dalam gerakan mahasiswa ini.

Menghadirkan dan mewakili yang telah terwakil merupakan permasalahan dalam setiap penyikapan. Maksudnya ketika sekelompok orang menyatakan sikapnya mengatasnamakan kelompok yang lebih besar, sekelompok orang tersebut tengah berada dalam ilusi kepemilikan bargaining yang tinggi. Sangat mengkhawatirkan ketika belum benar-benar mengetahui apa yang ingin digugat dan siapa yang menggugat tidak dipertimbangkan dengan matang.

Permasalahan mengenai “apa” yang digugat bisa diselesaikan dengan kajian, akan tetapi pernasalahan “siapa” yang menggugat lagi-lagi masih terjebak pada simbol. Tidak adil kalau membandingkan resource of mobilization yang dimiliki kelompok buruh dengan gerakan mahasiswa kini. Jelas mobilisasi sumberdaya mahasiswa jauh lebih minim dibandingkan gerakan buruh yang solidaritasnya masih lebih tinggi. Tentu membangun kesadaran orang lain kemudian memintanya untuk ikut bertindak bukanlah hal yang mudah, terserah mau dikatakan gerakan mahasiswa masa kini terlalu banyak mengkaji atau apapun, yang jelas minimnya mobilisasi sumberdaya menjadi pertanyaan besar gerakan mahasiswa kini.

Tepatkah “Mahasiswa Menggugat Rektor UI” yang akan diselenggarakan berupa Audiensi Publik pada 23 Desember 2015? Langkah tersebut akan sangat tepat ketika “gugatan” atau audiensi publik tersebut telah memperoleh kajian dan data yang jelas. Apa yang dibuat dan didiskusikan hingga kini secara subyektif masih belum siap untuk diaudiensikan. Imbasnya forum 23 Desember 2015 hanya akan menjadi legitimasi bahwa para pemangku kepentingan telah menetapkan kebijakan berdasarkan hasil diskusi publik. Biaya pendidikan bagi mahasiswa UI angkatan 2016 akan tetap naik dan gerakan mahasiswa UI akan tetap bergerak dengan cara yang sama.

Terlalu bermimpi mungkin, bila gerakan mahasiswa UI dalam merespon haknya mengenai biaya pendidikan yang layak bisa secanggih gerakan mahasiswa di UK dan di Cile. Student Union (serikat pelajar) di sana telah dapat merumuskan kebijakan partisipatif dalam penentuan hak dan kewajiban mereka sebagai mahasiswa. Cukup belajar dari gerakan buruh yang juga menuntut hak atas upah layak, dimana dengan solidaritas yang hebat mampu melaksanakan survei KHL. Dalam solidaritas dan koordinasi yang hebat pula mogok nasional telah dilaksanakan meskipun puluhan orang terkena pukulan dan diamankan oleh aparat. Melalui koordinasi dan solidaritas yang masih ada pula gerakan buruh tengah mempersiapkan judicial review PP Pengupahan. Gerakan mahasiswa UI benar-benar harus belajar dari gerakan buruh.

Referensi:

Opp, Karl-Dieter. 2009. Theories of Political Protest and Social Movements. New York and London: Routledge

Porta, Donatella Della and Diani, Mario. 2006. Social Movements an Introduction. Oxford: Blackwell Publishing

[1] Alldo Felix Januardy, “Upah Layak Bukan Upah Minimum”, 3 November 2015, diakses pada 21 Desember 2015, http://www.selasar.com/politik/upah-layak-bukan-upah-minimum

[2] Septian Deny, “Menaker: PP Pengupahan Justru Menguntungkan Buruh”, 25 November 2015, diakses pada 21 Desember 2015, http://liputan6.com/bisnis/read/2374519/menaker-pp-pengupahan-justru-menguntungkan-buruh

[3] JPNN, “Tuntut UMP 2015, Buruh Siap Adu Survei dengan BPS”, 23 Oktober 2014, diakses pada 22 Desember 2015, http://www.jpnn.com/news.php?id=265481

[4] Rieke Diah Pitalloka, “Survei Pengupahan Nasional di 7 Kawasan Industri Rekomendasikan Kenaikan Upah 2016”, 23 September 2015, diakses pada 22 Desember 2015, http://www.rumahdiahpitaloka.org/survei-pengupahan-nasional-rekomendasikan-kenaikan-upah-2016-di-7-kawasan-industri-sebesar-33/

[5] BEM FISIP UI, “Diskusi Publik: UKT, Serupa tapi Tak Sama”, 25 Maret 2015, diakses pada 22 Desember 2015, http://kompasiana.com/bemfisipui/notula-diskusipublik-kubik-12-maret-2015-ukt-serupa-tapi-tak-sama_552df4be6ea834d7018b45ae

[6] BK MWA UI UM, “(Mungkinkah) Biaya Pendidikan Naik (?)”, 11 November 2015, diakses pada 21 Desember 2015, http://www.bit.ly/inflasi-boptn

[7] ___, “Mengenal Lebih Dekat Konsep Student Unit Cost Mahasiswa UI: Sebuah Pengantar Analisa Student Unit Cost UI”, 29 November 2011, diakses pada tanggal 22 Desember 2015, http://www.anakui.com/2011/11/29/mengenal-lebih-dekat-konsep-student-unit-cost-mahasiswa-ui-sebuah-pengantar-analisa-student-unit-cost-ui/

[8] SUC UI 2012 dapat diunduh pada http://bit.ly/SUCUI2015